Tawanan Indonesia, Tentang Kengerian Kamp Nazi


Dalam buku otobiografinya, Parlindoengan Loebis (1910-1994) seorang dokter asal Indonesia, bercerita tentang kengerian yang dailaminya selama menjadi tawanan di Kamp Konsentrasi Nazi.
Dia ditangkap oleh tentara Nazi pada akhir Juni 1941, sehubungan dengan kiprahnya sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda, yang memang sangat aktif bergerak untuk melawan fasisme Jerman di era kepemimpinan Adolf Hitler.

"… Aku dimasukkan ke sebuah sel yang telah dihuni oleh tiga orang. Besar ruangan itu tiga kali tiga meter dan mempunyai dua tempat tidur besi tanpa kasur…. Dalam ruangan itu ada sebuah lubang di mana kami dapat buang air kecil dan besar. Lubang itu ditutup dengan sebilah kayu saja. Siapa yang tidur dekat lubang itu akan mencium bau yang amat busuk…."

Penggalan kalimat di atas diungkapkan oleh Parlindoengan Lubis saat hari pertamanya di dalam kamp konsentrasi Nazi. Inilah awal dari babak mengerikan dalam hidupnya, ketika ia diciduk dua orang polisi rahasia Belanda di rumah sekaligus tempat praktiknya sebagai dokter di Amsterdam, pada suatu siang, akhir Juni 1941 setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jerman.

Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Leiden, Belanda itu, lantas dibawa ke Euterpestraat, lokasi markas polisi rahasia Nazi Jerman, yang saat itu disebut Gestapo.

Sejak saat itu, pria keturunan Batak ini harus mendekam di beberapa lokasi kamp konsentrasi Nazi, selama empat tahun. Dalam masa penahanannya, dr Loebis sempat dipimdah-pindah lokasi kamp, diantaranya, Kamp Schoorl dan Amersfoort, keduanya berlokasi di Belanda, juga pernah ditawan di  Buchenwald dan Sachsenhausen, keduanya berlokasi di Jerman.

Dokter Parlindoengan lahir pada 30 Juni 1910 di Batang Toru, Tapanuli Selatan, dan meninggal di Jakarta pada 31 Desember 1994.


Sebagai anak dari keluarga yang berada, hal tersebut memungkinkan dia untuk bisa bersekolah hingga bergelar sarjana. Setelah menyelesaikan MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Medan pada 1927, dia melanjutkan ke AMS (sekolah menengah atas) di Jakarta.

Keterlibatan dr. Parlidoengan dimulai saat dia bersekolah di Jakarta. Dia banyak berhubungan dengan banyak pelajar nasionalis yang sangat aktif membangun kesadaran politik di kalangan anak muda saat tiu. Dan pada saat menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1932, dia mulai menggabungkan diri dan aktif di gerakan Perhimpoenan Indonesia.

Sumber : TIM TEMPO (http://www.tempo.co)